JAKARTA,detik24jam.online – Akademisi dan pemerhati sosial, Dr. H. Serian Wijatno, menekankan pentingnya keterlibatan eks Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) serta para penyintas tragedi kerusuhan Mei 1998 dalam proses penulisan ulang sejarah nasional. Hal ini ia sampaikan sebagai respons atas pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meragukan keberadaan pemerkosaan massal dalam tragedi tersebut.
“Jika ingin menjawab secara tuntas apakah benar ada atau tidak tindak pemerkosaan dalam peristiwa itu, maka melibatkan eks TGPF dan para korban adalah langkah bijak,” ujar Serian di Jakarta, Minggu (15/6/2025).
Ia mengingatkan bahwa meski rencana penulisan ulang buku sejarah nasional patut diapresiasi, prosesnya harus dilakukan secara transparan, jujur, dan terbuka sebagaimana makna kiasan kata “transparan” dalam KBBI. Terutama saat menyentuh peristiwa traumatik seperti Tragedi Mei 1998, yang merupakan salah satu bab kelam dalam sejarah bangsa.
Kekerasan Seksual Diakui dalam Laporan TGPF
Serian menyebut bahwa laporan TGPF yang dibentuk di era Presiden BJ Habibie telah secara jelas mencatat adanya kekerasan seksual terhadap perempuan di Jakarta, Medan, dan Surabaya selama kerusuhan berlangsung. Namun, ia menyayangkan bahwa catatan penting ini justru berpotensi diabaikan dalam penyusunan ulang buku sejarah.
“Laporan TGPF adalah dokumen resmi. Sayangnya, justru sekarang ada narasi yang menyebut kejadian itu hanya rumor,” tegasnya.
Pernyataan tersebut merujuk pada ucapan Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025), yang mengatakan bahwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 tidak pernah terbukti. Menurut Fadli, tidak ada bukti kuat yang bisa menjelaskan kejadian itu benar-benar terjadi.
Waspadai Sejarah Dimanipulasi untuk Kepentingan Politik
Serian mengingatkan bahwa penulisan sejarah bukan sekadar proyek akademik, tetapi juga bagian dari “politik ingatan” sebuah bangsa. Ia menilai, menutup-nutupi peristiwa traumatik demi kenyamanan politik sesaat hanya akan memperburuk luka kolektif yang belum pulih.
“Kita tidak ingin sejarah digunakan sebagai alat tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek. Generasi muda berhak mendapatkan sejarah yang jujur dan utuh,” ucap Ketua Umum PITI itu.
Serian juga menilai bahwa keterlibatan tokoh-tokoh yang pernah menjadi bagian TGPF seperti KH. Said Aqil Siradj, Bambang Wijayanto, dan Dai Bachtiar sangat penting untuk memperkaya perspektif tim penulis sejarah. Selain itu, kesaksian dari penyintas yang masih hidup bisa menjadi narasi nyata yang selama ini tertutup.
Pengakuan atas Luka, Bukan Sekadar Catatan
Menurutnya, suara korban tidak boleh dibungkam atas dasar ketidaknyamanan atau ketakutan menghadapi masa lalu. Ia menegaskan, “Luka tidak akan pernah sembuh jika terus dianggap tidak ada. Trauma tidak akan reda jika dianggap ilusi.”
Para penyintas, lanjut Serian, tidak menuntut belas kasihan, melainkan pengakuan jujur dari bangsa ini bahwa peristiwa yang mereka alami memang terjadi. “Kejujuran adalah bagian dari tanggung jawab moral negara,” katanya. (red:a)
0 Komentar