BHS Soroti Harga Elpiji di Indonesia: Tidak Realistis

  

Surabaya, detik24jam.online -  Pakar Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menilai harga Elpiji di Indonesia sangat tidak realistis. Ditambah, tata niaga gas di Indonesia carut marut.

Sebagai negara penghasil gas terbesar di Asia, dia menduga ada pihak tertentu yang menginginkan masyarakat Indonesia tetap menggunakan Elpiji yang harganya bisa dipermainkan.

“Saat ini harga gas Elpiji 3 Kg tabung melon HET sudah mencapai Rp25 ribu di tahun 2023. Padahal, di tahun 2014 HET T Elpiji 3 Kg masih berada di Rp13.500, berarti terjadi kenaikan 85 persen selama kurun waktu tidak lebih dari 10 tahun. Ini tidak masuk akal,” kata BHS, Senin (7/8/2023).

Menurut anggota DPR-RI periode 2014-2019 ini, apalagi harga gas Elpiji di sebagian besar luar Jawa bisa mencapai di atas Rp40 ribu, seperti misalnya Sidrap Sulawesi mencapai Rp40 ribu dan Kutai Timur Kalimantan mencapai Rp50 ribu.

“Pertamina sebagai penyuplai gas Elpiji dan bahan bakar mendapatkan subsidi pemerintah berupa PNM dari APBN sebesar Rp82,3 triliun di tahun 2023. Seharusnya suplai Elpiji ke seluruh Indonesia tidak boleh terkendala dari sisi biaya, apalagi saat ini juga ada tol laut yang bisa digunakan untuk pengiriman Elpiji menjadi jauh lebih murah. Seharusnya tidak boleh ada disparitas harga di Jawa dan luar Jawa,” tegasnya.

Lebijh lanjut, alumni ITS Surabaya ini mengungkapkan, Elpiji 3 kg ini banyak digunakan oleh usaha mikro kecil yang di Indonesia berjumlah sekitar 25 juta dan dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah yang berjumlah sekitar 110 juta di Indonesia (data BPS). Ini sangat memberatkan masyarakat bawah dan bahkan untuk masyarakat menengah ke ataspun mereka diberikan beban penggunaan Elpiji isi ulang 5,5 kg dengan harga sekitar Rp110 ribu dan 12 kg sebesar Rp240 ribu.

“Berbeda dengan di Malaysia harga Elpiji isi ulang 12 kg sebesar 25,8 ringgit atau setara dengan Rp90.300 di Kota Kuala Lumpur, Perak, Pulau Pinang, Terengganu, Pahang, dan lain lain. Bahkan, harga di Malaysia bagian Pulau Kalimantan di Kota Kinabalu dan Serawak sampai ke pelosok-pelosok harganya berbeda tidak lebih dari 1 ringgit. Sehingga, hampir dikatakan harga adalah sama di seluruh wilayah Malaysia sampai ke pedalaman,” kata BHS.

Petronas, kata mantan ketua bidang Infrastruktur KADIN Pusat ini, sebagai perusahaan milik negara tidak diberikan satu monopoli dan semua penyuplai BBM yang ada di negara tersebut baik Shell, Petron, dan lain lain mereka juga menjual gas kepada masyarakat publik dengan harga yang sama seperti yang berlaku di perusahaan negara Petronas, bahkan Petronas dan semua perusahaan penyuplai gas tersebut tidak mendapatkan subsidi dari negara.

“Padahal Malaysia itu sendiri mengimpor gas Elpiji dari negara yang sama dengan Indonesia yaitu dari USA, Arab, Qatar, Anggola, Kuwait dan Singapura. Di Malaysia tabung Elpiji 16 kg hanya digunakan oleh usaha mikro makanan di kedai-kedai kecil di pasar tradisional, termasuk pedagang kaki lima yang ada di Malaysia. Sedangkan untuk semua pemukiman rakyat di Malaysia sampai ke pelosok sudah teraliri dengan jaringan gas 100 persen dengan harga yang jauh lebih murah dari penggunaan Elpiji dan bahkan mendekati gratis hanya membayar service charge saja dengan penggunaan gas yang tidak dibatasi,” imbuhnya.

Sedangkan di Indonesia, hampir 100 persen pemukiman masih belum difasilitasi jaringan gas, sehingga mereka harus menggunakan tabung Elpiji untuk kebutuhan rumah tangganya.

BHS mengungkapkan, jaringan gas yang sudah dibangun oleh pemerintahan Hindia Belanda masuk ke sebagian besar perumahan-perumahan di kota kota besar seperti: Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan lain lain sudah tidak difungsikan dan bahkan jaringan gas saat ini di Indonesia baru menjangkau tidak lebih dari 1 persen jumlah rumah penduduk di Indonesia. Padahal, Indonesia bisa dikatakan penghasil gas terbesar di Asia dan bahkan China, Jepang, Korea, Singapura pun memasok gas dari Indonesia.

“Ini yang sangat ironis, manajemen pertamina dan PGN di bawah kementerian BUMN dan ESDM termasuk bisa dikatakan belum berhasil dalam menyediakan jaringan gas ke perumahan-perumahan dan industri di Indonesia. Ini tentu berdampak sangat besar terhadap ekonomi di Indonesia. Dan, lebih menyedihkan lagi keberadaan tabung Elpiji 3 kg yang harganya sudah seperti tidak subsidi lagi. Itupun sulit didapat di daerah-daerah. Sehingga, tentu akan berdampak terhadap ekonomi yang sangat besar dan merugikan masyarakat,” pungkasnya. (red.ika)

0 Komentar